Memang Baik Jadi Orang Penting, Tapi Lebih Penting Jadi Orang Baik

Dalam kehidupan ini, banyak orang berusaha mencapai status, jabatan, dan pengaruh sosial yang tinggi, yang seringkali dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Namun, Ustadz Adi Hidayat dalam ceramahnya menyampaikan pesan penting: “Memang baik jadi orang penting, tapi lebih penting jadi orang baik.” Pesan ini menekankan bahwa kebaikan hati, akhlak mulia, dan keikhlasan dalam bertindak adalah nilai-nilai yang jauh lebih berharga di mata Allah SWT daripada sekadar status atau kedudukan.

Artikel ini akan menguraikan pandangan Ustadz Adi Hidayat tentang makna menjadi “orang baik,” berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, serta bagaimana nilai-nilai ini bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Keutamaan Menjadi Orang Baik dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an secara jelas memerintahkan umat Islam untuk berakhlak mulia dan menjadi orang yang berbuat baik kepada sesama. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…” (QS. An-Nahl: 90)

Ayat ini menegaskan bahwa salah satu perintah utama Allah adalah berbuat kebajikan. Berbuat baik bukan hanya kepada orang yang dikenal, tetapi kepada semua makhluk. Hal ini mencakup sikap peduli, tulus, dan memberi manfaat bagi sesama.

Hadis Tentang Kebaikan

Rasulullah SAW dalam banyak hadis juga menekankan pentingnya menjadi orang baik. Salah satu hadis yang sangat relevan dengan topik ini berbunyi:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad, Thabrani)

Hadis ini menekankan bahwa ukuran kebaikan seseorang bukanlah pada seberapa tinggi kedudukannya, melainkan seberapa banyak manfaat yang bisa diberikan kepada orang lain. Seorang “orang baik” adalah mereka yang dengan keikhlasan hatinya senantiasa membantu, meringankan beban, dan memberi manfaat kepada sesama.

Memahami “Orang Penting” dan “Orang Baik”

Dalam ceramahnya, Ustadz Adi Hidayat menjelaskan bahwa menjadi orang penting, seperti memiliki jabatan tinggi atau dikenal oleh banyak orang, tidaklah salah. Namun, status tersebut tidak memiliki nilai yang hakiki di sisi Allah jika tidak diimbangi dengan kebaikan hati. Kedudukan dan kekuasaan hanyalah sementara dan ujian dari Allah untuk melihat bagaimana seseorang memanfaatkannya.

Baca Juga:  Manfaat Jalan Kaki dalam Kesehatan dan Agama Islam

Sebaliknya, menjadi “orang baik” adalah karakter yang akan tetap abadi, baik di dunia maupun di akhirat. Kebaikan yang dilakukan seseorang, sekecil apapun, akan tercatat dan diberi ganjaran oleh Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah: 7)

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada kebaikan yang sia-sia di sisi Allah. Setiap perbuatan baik, sekecil apapun, akan diperhitungkan dan mendapatkan ganjaran.

Aplikasi Nilai Kebaikan dalam Kehidupan Sehari-hari

  1. Kebaikan kepada Keluarga: Ustadz Adi Hidayat sering mengingatkan bahwa kebaikan harus dimulai dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

    “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap keluarganya.” (HR. Tirmidzi)

    Menjadi orang baik dalam keluarga berarti memiliki kesabaran, kasih sayang, dan tanggung jawab dalam memimpin serta mengayomi anggota keluarga.

  2. Kebaikan kepada Tetangga dan Masyarakat: Kebaikan juga harus meluas kepada masyarakat sekitar. Rasulullah SAW memberikan banyak contoh tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan tetangga dan masyarakat. Dalam hadis disebutkan:

    “Tidak beriman seseorang yang kenyang sedangkan tetangganya kelaparan.” (HR. Bukhari)

    Hal ini mengingatkan kita bahwa menjadi orang baik tidak hanya terbatas pada hal-hal besar, tetapi juga pada tindakan sederhana seperti membantu tetangga yang membutuhkan.

  3. Menggunakan Kekuasaan untuk Kebaikan: Bagi mereka yang diberi amanah jabatan atau kekuasaan, Ustadz Adi Hidayat menekankan bahwa status tersebut harus digunakan untuk kebaikan dan kesejahteraan umat. Kepemimpinan adalah amanah yang besar, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dilakukannya. Allah SWT berfirman:

    “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa: 58)

    Pemimpin yang baik adalah mereka yang adil, jujur, dan memanfaatkan kekuasaannya untuk menegakkan kebaikan dan keadilan.

Akibat dari Mengabaikan Kebaikan

Sebaliknya, orang yang mengejar kedudukan dan status tanpa disertai dengan akhlak mulia, pada akhirnya akan menemui kegagalan baik di dunia maupun akhirat. Kedudukan dan kekayaan yang diperoleh tanpa kebaikan hati akan menjadi beban di hari akhir. Ustadz Adi Hidayat mengingatkan kita tentang hadis Rasulullah SAW:

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang akan binasa karena kecintaan mereka terhadap kedudukan.” (HR. Bukhari)

Maka dari itu, penting bagi setiap Muslim untuk selalu mengedepankan akhlak yang baik, meskipun tidak memiliki status atau kedudukan yang tinggi di masyarakat.

Menjadi orang penting memang baik, tetapi lebih penting menjadi orang baik. Kebaikan hati, akhlak mulia, dan memberi manfaat kepada sesama adalah hal yang paling bernilai di sisi Allah SWT. Melalui pesan Ustadz Adi Hidayat ini, kita diingatkan bahwa tujuan hidup seorang Muslim adalah meraih ridha Allah, dan hal itu hanya bisa dicapai dengan menjadi orang yang baik dalam segala aspek kehidupan. Semoga kita semua dapat menjadi pribadi yang selalu menebar kebaikan dan mendapatkan keberkahan di dunia dan akhirat.